Senin, 14 Desember 2009

Lima factor pendidikan

Suatu pendidikan akan berhasil jika ada factor-faktor penentunya. Factor-faktor inilah yang akan menentukan pada nantinya apakah suatu pendidikan tersebut bisa dikatakan berhasil atau tidak.

Kelancaran proses pendidikan dan keberhasilan pendidikan tidak dapat dibebankan secara berat sebelah pada salah satu factor pendidikan. Kelima faktor pendidikan tersebut adalah anak didik, alat pendidikan, lingkungan pendidikan, tujuan pendidikan dan pendidik. (Aryatmi, 1985).


 

Factor 1: Anak didik

Anak didik merupakan kunci internal dalam keberhasilan mereka terhadap pendidikan yang mereka kecap sendiri.

Aryatami (1985) juga mengatakan bahwa bakat anak, kepribadian anak, sikap anak terhadap sekolah, cara belajar maupun tujuan dan cita-cita yang ingin dicapai anak dalam mengikuti pendidikan, akan mempunyai pengaruh yang sangat besar.

Menurut saya, pada awalnya setiap anak tidak akan bisa langsung mengetahui apa bakat mereka, bagaimana kepribadian mereka, ataupun apa tujuan yang hendak dicapai. Mereka memerlukan sosok individu yang lebih dewasa seperti orang tua ataupun pendidik/guru untuk membimbing mereka mengenali bakat dan tujuan pendidikan mereka.

Jika seorang anak sudah mengerahui apa kesenangan mereka, pada bidang apa bakat mereka lebih menonjol, serta apa cita-cita mereka hal ini akan membuat mereka merasa lebih senang bersekolah dan merasa termotivasi untuk lebih meningkatkan pendidikan mereka sesuai dengan bakat, hobi, ataupun cita-cita yang mereka miliki.

Santrock (2008) dalam bukunya mengatakan bahwa seberapa keras usaha siswa untuk bekerja dapat tergantung dari seberapa banyak harapan yang ingin mereka penuhi. Jika mereka berharap untuk berhasil, mereka cenderung untuk bekerja keras meraih suatu tujuan daripada ketika mereka mengharapkan suatu kegagalan. Jacquelynee Eccles mengartikan pengharapan keberhasilan siswa sebagai "keyakinan mengenai seberapa baik usaha mereka untuk mengerjakan tugas-tugas yang akan datang, baik tugas yang harus dipenuhi sekarang juga ataupun dimasa yang akan datang/jangka-panjang." Tiga aspek dari keyakinan ini, menurut Eccles, adalah keyakinan siswa mengenai seberapa baik hal yang mereka lakukan terhadap suatu aktivitas tertentu, seberapa baik usaha mereka jika dibandingkan dengan orang lain, dan seberapa baik usaha mereka jika dihubungkan dengan performansi mereka pada aktivitas yang lain.


 

Factor 2: Alat pendidikan

Alat pendidikan merupakan salah satu factor penentu yang dapat menarik motivasi anak agar lebih ingin untuk belajar dan bersekolah. Pada siswa, terutama siswa TK dan SD, alat psikologis yang digunakan dalam pendidikan adalah bahasa. Menurut Vygotsky, bahasa memegang peranan yang penting dalam perkembangan mental anak. Pada poin ini, Vygotsky (dalam Solso, Maclin, & Maclin, 2005) menulis bahwa "Bahasa merupakan penggabung antara ucapan luar yang didengar oleh anak dan ucapan dalam yang ia pikirkan." Melalui tulisan Vygotsky ini dapat disimpulkan bahwa bahasa dan pikiran merupakan dua kesatuan dari suatu fenomena umum.

Alat pendidikan lainnya yang juga bisa merangsang anak untuk belajar misalnya buku teks yang berwarna dan bergambar, alat2 peraga misalnya bentuk bangun ruang pada saat siswa mempelajari materi mengenai bangun ruang, lagu2 yang berhubungan dengan materi pelajaran, alat musik pada saat pelajaran mengenai seni musik, kamus dan ensiklopedi menurut saya juga dapat merangsang anak untuk membaca karena berisikan hal2 yang menarik dan juga dipenuhi dengan gambar dan keterangan yang lengkap, serta buku2 bacaan/buku cerita misal buku cerita rakyat atau novel anak karena menurut saya melalui buku2 tersebut anak akan dapat lebih diperkaya dalam tata bahasa dan kosa kata baru.


 

Factor 3: Lingkungan pendidikan

Lingkungan dimana anak mendapatkan pendidikan akan memainkan peranan yang cukup penting juga kalau menurut saya. Lingkungan di mana anak belajar akan mempengaruhi sikap dan tabiat anak pada nantinya. Dalam hal ini kita bisa mengambil contoh misalnya ada keluarga yang hidupnya biasa2 saja dan sedikit kekurangan, namun keluarga tersebut menyekolahkan anaknya ke sekolah tempat anak2 orang kaya dan serba berkecukupan. Si anak bisa saja akan terbawa ke pergaulan orang2 kelas tinggi tersebut dan ingin mengikuti gaya hidup mereka, sedangkan orang tuanya tidak dapat menyanggupi, hal ini akan membuat anak merasa kecewa karena tidak bisa setara dengan teman2 di sekolahnya dan mereka akan menjadi kurang termotivasi untuk bersekolah. Namun bisa saja anak merasa sebaliknya. Ia bisa saja merasa minder dan merasa tidak pantas bersekolah di sana sehingga ia terus menerus merasa malu dan tentunya hal ini juga akan menurunkan motivasi anak untuk bersekolah.

Oleh karena itu, lingkungan pendidikan juga memainkan peranan yang cukup penting dalam memotivasi anak agar lebih ingin belajar dan bersekolah.


 

Factor 4: Tujuan pendidikan

Mendidik seorang anak juga jelas harus memiliki tujuan yang jelas dan pasti. Misalnya seorang anak yang benar2 berniat dan berbakat di bidang music dan ia sendiri pun ingin menekuni bidang tersebut namun orang tuanya tidak menyetujui dan memaksakan kehendaknya untuk menyekolahkan anak tersebut di bidang lain yang tidak disenangin oleh si anak. Hal ini pun akan membuat anak menjadi tidak termotivasi dan malas-malasan.

Oleh sebab itu, tujuan pendidikan hendaknya juga disesuaikan dengan bakat dan prestasi anak bukan atas kehendak orang tua semata-mata agar hasil yang didapatkan pun bisa menjadi maksimal dan memuaskan.


 

Factor 5: Pendidik

Dalam bukunya, Aryatmi (1985) juga menambahkan bahwa tidak dapat diingkari, bahwa yang paling menentukan ialah guru atau pendidik. Hal-hal yang ada pada pendidik, seperti pembinaan yang telah diperolehnya, kemampuan atau keterampilannya dalam melakukan tugas sebagai guru, kepribadiannya, falsafah hidup yang dianutnya, tujuan guru dalam melakukan tugasnya sebagai guru, teori belajar dan mengajar yang dianutnya; itu semua akan member cap pada pekerjaannya, dan menentukan hasil pendidikan yang diberikannya.

Di sekolah, atau di dunia pendidikan, guru juga memainkan peranan yang penting terhadap anak didiknya. Seperti halnya pada orang tua, apa yang dilakukan oleh guru juga akan dijadikan suri tauladan bagi murid2nya, seperti sebuah peribahasa Indonesia yang berbunyi "guru kencing berdiri, murid kencing berlari." Peribahasa ini sangat menggambarkan pentingnya sikap positif yang hendaknya dicontohkan oleh guru terhadap murid2nya. Jika gurunya saja mengajar dengan selengean ataupun ugal2an, bagaimana dengan murid2nya? Namun jika guru mengajar dengan penuh santun dan wibawa, murid2 pun akan merasa enggan dengan mereka dan kemudian mencoba untuk bersikap yang penuh dengan sopan santun pula.

Seperti yang sudah saya katakan di atas bahwa anak akan cenderung untuk mengimitasi perilaku orang yang lebih dewasa, Heyes (1992) di dalam bukunya menambahkan bahwa
Modeling dilakukan dengan cara menunjukkan berbagai perilaku di mana seseorang dituntut untuk memahami dan mempelajari. Guru memperagakan perilaku tertentu dengan cara-cara pembelajaran yang sesuai dengan cara yang akan digunakan oleh seseorang dalam mempelajarinya. Dalam hal ini, guru menunjukkan siswa bagaimana untuk bertindak secara strategis dengan subjek. Bertindak secara strategis berarti bertindak dengan penuh rencana. Dengan mengamati tingkah laku guru, siswa dapat melihat bagaimana suatu perencanaan dirumuskan dan menerapkannya dengan penuh pertimbangan agar dapat mencapai tujuan untuk memahami dan mempelajari subjek yang diberikan oleh guru.

Tindakan yang penuh rencana yang dilakukan oleh guru akan memberikan dampak yang lebih positif kepada anak. Namun jika guru bertindak dengan ceroboh, hasilnya sudah pasti negative. Misalnya guru yang seringkali menegur siswa dengan cara membentak akan membuat siswa merasa bahwa hal tersebut merupakan hal yang lumrah untuk dilakukan dan mereka pun akan mencoba untuk melakukan hal yg sama di rumah ataupun di tempat lainnya. Lagi pula karakter guru yang seperti itu akan membuat beberapa siswa lainnya merasa takut dan tidak mau bersekolah karena merasa bahwa gurunya galak dan mengerikan.

Karakter guru itu sendiri serta bagaimana guru membawakan materi ajar juga akan mempengaruhi motivasi siswa untuk belajar dan bersekolah. Guru yang cenderung keras, kaku, ataupun bertangan besi akan membuat siswa merasa takut jika harus menemui guru itu, apa lagi untuk menanyakan materi yang masih kurang dipahaminya. Namun jika guru tersebut bisa mengajar dengan cara yang lebih lunak, santai, tetapi masih menunjukkan wibawa mereka sebagai seorang pendidik akan membuat anak merasa lebih senang jika mengikuti materi pelajaran yang mereka bawakan dan meskipun mereka masih kurang memahami materi, siswa juga tidak akan merasa enggan dan takut untuk bertanya secara langsung dengan guru tersebut.


 

Referensi:

Hayes, D.A. (1992). A source book of interactive methods for teaching with texts. Massachusetts: Allyn & Bacon.

S, Aryatmi (1985). Faktor-faktor yang berpengaruh pada proses pendidikan. Dalam Kartini Kartono (Ed.) Seri psikologi terapan III: Bimbingan dan dasar-dasar pelaksanaannya. (h. 17-25). Jakarta: Rajawali

Santrock, J. W. (2008). Educational psychology. New York: McGraw-Hill.

Solso, R.L., Maclin, M.K., Maclin, O.H. (2005). Cognitive psychology (7th ed.). New Jersey: Pearson Education, Inc.

Bekali anak dengan teladan


Tidak hanya pendidikan formal yang diperlukan oleh seorang anak. Orang tua perlu sekali memberikan suri tauladan yang baik kepada anak2 mereka agar kelak mereka pun bisa mengikuti jejak teladan orang tua mereka. Teladan merupakan cara belajar terbaik bagi anak2.

Hal ini sangat sesuai dengan salah satu teori psikologi yang berkenaan dengan social learning theory, yaitu mengenai modeling, dimana individu belajar untuk menyesuaikan tingkah laku social melalui proses pengamatan dan imitasi dari si model – yaitu dengan memperhatikan orang lain (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Orang tua merupakan sosok individu dewasa yang paling dekat dengan anak, oleh karena itu anak akan cenderung untuk mengimitasi perliaku orang tuanya sendiri.

Saya mempunyai cerita lain yang berkenaan dengan ini (dikutip dari Dhammananda, 2004)

Suatu kali ada sepasang suami istri yang hidup serumah dengan ayah sang suami. Orang tua ini sangat merepotkan karena berperangai buruk dan tak henti-hentinya mengeluh. Akhirnya pasangan tersebut memutuskan untuk mengenyahkannya. Sang suami memasukkan ayahnya ke dalam keranjang yang dipanggul di bahunya. Ketika ia sedang bersiap-siap meninggalkan rumah, anak laki-lakinya yang baru berusia delapan tahun muncul dan bertanya, "Ayah, kakek mau dibawa ke mana?" Sang ayah menjawab bahwa ia bermaksud membawa kakek ke gunung agar ia bisa belajar hidup sendiri. Anak itu terdiam menyaksikan ayahnya berlalu, tiba-tiba ia berteriak, "Ayah, jangan lupa membawa pulang keranjangnya."

Ayahnya merasa aneh, sehingga ia berhenti dan bertanya, "Mengapa?" Anak itu menjawab, "Aku memerlukannya untuk membawa ayah nanti kalau ayah sudah tua."Orang itu segera membawa kembali ayahnya dan sejak saat itu mereka merawat orang tua itu dengan penuh perhatian dan memenuhi semua kebutuhannya.

Pelajaran moral yang bisa kita petik dari kisah ini adalah bahwa sebagai orang tua, hendaknya kita berhati-hati untuk berbuat sesuatu di depan anak-anak. Jika orang tua ingin mengharapkan hal yang baik dari anak mereka, berikanlah anak contoh yang baik pula.

Jika orang tua menginginkan anaknya agar mau bangun pagi agar tidak terlambat pergi ke sekolah, hendaknya mereka juga melakukan hal yang sama. Jangan malah mereka masih tertidur nyenyak di kasur yang empuk sementara si bibi yang sibuk mengurus persiapan anaknya sekolah. Anak bisa saja berpikir "Papa dan mama ku tidak pernah bangun pagi2 agar tidak terlambat datang ke kantor. Lantas mengapa aku harus terburu2?"

Untuk memotivasi anak agar rajin bersekolah, orang tua juga bisa menceritakan kepada anak mengenai betapa rajinnya mereka dulu bersekolah, sehingga mereka bisa memiliki kehidupan yang sukses seperti yang mereka miliki saat ini. Hal ini bisa saja membuat anak menjadi berpikir bahwa mereka hendaknya melakukan hal yang sama agar bisa meraih kesuksesan seperti orang tua mereka. Jangan malah menceritakan mengenai bagaimana nakalnya mereka dulu ketika bersekolah. Anak2 malah jadi akan menilai bahwa orang tua mereka saja tidak perlu repot2 rajin ke sekolah juga sudah bisa meraih sukses.


Referensi:

Papalia, D.E., Olds, S.W., Feldman, R.D. (2007). Human development (10th ed.). New York: McGraw-Hill.

Dhammananda, S. (2004). Be happy. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya.

Jumat, 11 Desember 2009

Children Learn What They Live

Saya jadi teringat tentang puisi ini. Saya pertama kali tahu tentang puisi ini ketika saya ikut kelas Kesehatan Mental dimana saya merupakan asisten mahasiswa (asma) di kelas itu pada saat itu. Pada waktu itu dosen meminta mahasiswa untuk mencari puisi ini dan mencoba untuk memahaminya. Saya, sebagai asma tentunya harus mencari juga.

Puisi ini berhubungan dengan bagaimana cara untuk mendidik seorang anak dengan baik. Segala sesuatu yang terjadi di lingkungan tempat anak itu bertumbuh dan berkembang akan mempengaruhi diri mereka nantinya. Apa yang diberikan oleh lingkungan mereka, itulah yang mereka pelajari.

Begini bunyi puisinya:    

Children Learn What They Live
By Dorothy Law Nolte, Ph.D.

If children live with criticism, they learn to condemn.
If children live with hostility, they learn to fight.
If children live with fear, they learn to be apprehensive.
If children live with pity, they learn to feel sorry for themselves.
If children live with ridicule, they learn to feel shy.
If children live with jealousy, they learn to feel envy.
If children live with shame, they learn to feel guilty.
If children live with encouragement, they learn confidence.
If children live with tolerance, they learn patience.
If children live with praise, they learn appreciation.
If children live with acceptance, they learn to love.
If children live with approval, they learn to like themselves.
If children live with recognition, they learn it is good to have a goal.
If children live with sharing, they learn generosity.
If children live with honesty, they learn truthfulness.
If children live with fairness, they learn justice.
If children live with kindness and consideration, they learn respect.
If children live with security, they learn to have faith in themselves and in those about them.
If children live with friendliness, they learn the world is a nice place in which to live.

Copyright © 1972 by Dorothy Law Nolte


 

Taman Kanak-Kanak


Taman kanak2 (TK) merupakan masa dimana seorang anak mengalami transisi dari kehidupan keluarga ke kehidupan sekolah untuk pertama kalinya.

Peristiwa mulai "sekolah" itu sendiri merupakan langkah maju dalam kehidupan anak. Peristiwa ini dapat menjadi suatu peristiwa yang menegangkan, yang menakjubkan, yang menakutkan, atau yang asing bagi anak. Bahwa mulai sekolah ini merupakan kesan pertama terhadap sekolah, telah banyak dipahami. Tetapi dalam kenyataan untuk mencapai tujuan yang benar ini, dilakukan usaha-usaha yang keliru (Sukadji, 2003).

Masa sekolah TK inilah yang paling rentan kalau menurut saya. Pada masa ini, anak mulai untuk bergaul dengan teman sebaya, mulai memiliki tanggung jawab seperti mengerjakan PR atau tugas, dll. Nah kalau pada saat ini anak sudah mulai merasa bosan atau malas untuk pergi ke sekolah, untuk ke depannya akan menjadi sulit bagi orang tua agar dapat membujuk anaknya untuk pergi ke sekolah.

Biasanya di sekolah TK anak2 belum dibebani suatu pelajaran atau materi yang terlalu berat. Mereka biasanya baru belajar bagaimana untuk menuliskan suatu huruf atau angka, operasi matematika dasar seperti penjumlahan dan pengurangan, menulis kata singkat, menggambar, dll. Materi yang diajarkan ini disesuaikan dengan usia dan perkembangan anak pada masa itu.

Namun anak2 pada usia ini biasanya masih cepat merasa bosan untuk belajar. Mereka lebih senang untuk belajar sembari bermain ataupun bernyanyi.

Saya pernah mewawancarai seorang guru TK dan dari hasil wawancara itu saya dapatkan bahwa anak2 TK biasanya senang jika diminta untuk bernyanyi. Oleh karena itu guru tersebut banyak melakukan kegiatan bernyanyi di kelas seperti pada saat melakukan kegiatan pemeriksaan kebersihan tubuh, saat mulai belajar, sebelum makan siang, dan saat pulang sekolah.

Kegiatan bernyanyi ini menurut saya juga bermanfaat selain untuk merangsang anak untuk belajar juga untuk merangsang kosa kata anak dan perkembangan bahasanya.


Referensi:

Sukadji, S. (2003). Psikologi pendidikan dan psikologi sekolah. Depok: Lembaga Pengembangan sarana pengukuran dan pendidikan psikologi (L.P.S.P3.) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.



Motivasi

Menurut Encyclopædia Britannica, kata motivasi berasal dari bahasa latin "motivus" ("a moving cause"). Kalat (2000) mengatakan bahwa secara umum, motivasi diyakini terdiri dari dua komponen, drive dan incentive. Drive merupakan sesuatu yang memperkuat aktivitas tanpa perlu menentukan tipe aktivitasnya. Contohnya, suatu serpihan pada tangan dapat mendorong serangkaian tingkah laku yang energik hingga sepihan tersebut di angkat, meskipun hal ini tidak mengamanatkan suatu tingkah laku spesifik. Incentive merupakan suatu stimulus yang membangkitkan pendekatan ataupun penolakan tingkah laku. Contohnya, tersedianya suatu menu penutup yang lezat dapat meningkatkan suatu pendekatan tingkahlaku meskipun kita tidak sedang merasa lapar.

Dalam hubungannya dengan cara untuk memotivasi anak untuk bersekolah, orang tua memainkan peranan yang penting dalam membimbing anak untuk mencapai suatu prestasi tertentu.

Kebutuhan akan prestasi pada anak berhubungan dengan sebagian besar tingkahlaku orang tuanya. Orang tua dari anak dengan suatu kebutuhan akan prestasi yang tinggi sangat sensitive terhadap kapasitas ataupun batasan anak mereka. Mereka cenderung untuk mengatur aturan yang lebih keras daripada kebanyakan orang tua lainnya ketika anak mereka masih kecil dan menjadi lebih lunak ketika anak mereka sudah lebih besar. Mereka mengatur harapan-harapan yang tinggi namun realistis untuk anak-anak mereka dan memberikan reward yang kuat terhadap mereka atas setiap prestasi yang diraih (Kalat, 2000).

Nah, disini sangat diharapkan bahwa orang tua hendaknya meski memiliki harapan yang meskipun tinggi tapi masih realistic untuk anak-anak mereka.


 

Referensi:

motivation. (2009). Encyclopædia Britannica. Ultimate Reference Suite.  Chicago: Encyclopædia Britannica.

Kalat, J.W. (2000). Motivation. In Cecil R. Reynolds & Elaine Fletcher-Janzen (Eds.) Encyclopedia of special education: a reference for the education of the handicapped and other exceptional children and adults. (Vol. II, 2nd ed.) (p. 1212-1213). New York: John Willey & Sons.

Orang tua dan permasalahannya

Dua hari yang lalu, ketika saya sedang chatting dengan adik perempuan saya yang sedang melanjutkan studinya di luar negeri, saya bercerita kepadanya tentang tugas pembuatan blog ini dan saya meminta ide darinya mengenai apa yang akan saya tulis di dalam blog ini sehubungan dengan topic yang diberikan. Lalu ia langsung memberikan idenya dengan mengatakan "coba deh ci, u buka buku 'Membuka Pintu Hati' hal. 187. Disitu ada kata2 bagus yang mungkin bisa u pake di blog u."

Saya langsung mengambil buku yang dimaksudkan oleh adik saya dan mulai membaca. Di dalam buku tersebut tertulis:

"Masalah yang berkenaan dengan orang tua adalah mereka selalu mengira bahwa mereka tahu apa yang terbaik untuk anaknya. Sering kali mereka salah. Kadang mereka benar juga."

Kata2 yang sangat bijak menurut saya. Begitulah hendaknya orang tua meskipun menginginkan yang terbaik dari anaknya tetapi mereka hendaknya tidak selalu memaksakan kehendak mereka terhadap anak2 mereka. Orang tua tidak selalu tahu apa yang terbaik untuk anaknya karena terkadang anak2 mereka pun tidak menginginkan hal yang terbaik tersebut.

Ketika saya sedang membaca2 ulang isi buku 'Membuka Pintu Hati' karya Ajahn Brahm ini saya menemukan sebuah cerita yang menggambarkan bahwa tidak selalu yang menurut orang tua terbaik adalah yang terbaik menurut anaknya.

Diceritakan di dalam buku ini bahwa ada seorang pemuda, yang terlahir tuli, tengah mengunjungi dokter untuk pemeriksaan rutin dengan ditemani oleh kedua orang tuanya. Dengan bersemangat sang dokter memberi tahu orang tua si pemuda mengenai suatu presedur pengobatan baru yang baru-baru ini dibacanya dari jurnal kedokteran. Sepuluh persen dari orang-orang yang terlahir tuli dapat dipulihkan kembali pendengarannya melalui sebuah operasi sederhana dan tidak mahal. Sang dokter bertanya kepada orang tua si pemuda apakah mereka ingin mencobanya. Orang tua si pemuda dengan segera mengiyakan.

Pemuda itu adalah salah satu dari sepuluh persen orang-orang tuli yang dapat dipulihkan kembali pendengarannya, namun dia malah menjadi sangat marah dan jengkel kepada kedua orang tua dan dokternya. Dia tidak mengetahui apa yang mereka rembugkan saat pemeriksaan rutinnya. Tak seorang pun menanyakan kepadanya apakah dia ingin bisa mendengar. Sekarang dia mengeluh karena dia harus menahan siksaan suara-suara rebut yang terus-menerus, yang mana hanya sedikit saja yang dia pahami. Sebenarnya dia memang tidak pernah ingin dipulihkan pendengarannya.

Sebelum membaca cerita ini, saya sendiri pun berpikiran bahwa setiap orang yang tuli pasti ingin dapat mendengar. Setiap orang yang buta pasti ingin dapat melihat. Anda pun mungkin berpikiran hal yang serupa. Padahal memang belum tentu mereka menginginkannya. Begitu pula dengan orang tua mereka sendiri, belum tentu apa yang mereka pikir baik untuk anaknya sudah pasti baik.

Jika dihubungkan dengan masalah pendidikan anak sekolah, ada banyak contoh yang bisa ambil untuk menggambarkan kondisi ini.

Sekarang ini, banyak sekali orang tua yang menginginkan anak mereka masuk ke sekolah bergengsi, sekolah dengan taraf internasional, ataupun sekolah kelas atas lainnya. Padahal belum tentu anak-anak mereka benar-benar menginginkan hal tersebut dan belum tentu juga anak2 mereka memang "mampu" untuk menyesuaikan diri dengan sekolah2 seperti itu. Ada dalam banyak kasus orang tua yang memaksakan anak mereka untuk bersekolah di sekolah-sekolah seperti itu malah menyebabkan anaknya, yang memang kurang mampu/kurang cakap untuk mengikuti taraf sekolah tsb, tidak dapat mengikuti mata pelajaran yg ada, selalu mendapatkan nilai yang jelek, atau bahkan tidak naik kelas.

Hal-hal inilah yang akhirnya menurunkan motivasi anak untuk bersekolah. Mereka bisa saja berpikir bahwa sekolah bukanlah tempat dimana mereka bisa mendapatkan ilmu, tempat mereka bergaul dengan teman sebaya, tempat dimana mereka bisa mempelajari tentang dunia dan isinya, tetapi malah merupakan suatu "tekanan" dalam hidup mereka dan mereka membencinya.


Referensi:

Brahm, A. (2008). Membuka pintu hati. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya.

Rabu, 09 Desember 2009

children are our future



mungkin bait lagu ini udah gak asing lagi ditelinga kita...

I believe the children are our are future
Teach them well and let them lead the way
Show them all the beauty they possess inside
Give them a sense of pride to make it easier
Let the children's laughter remind us how we used to be...

yup!
kata2 di atas merupakan sebait lagu yang dilantunkan oleh Whitney Houston. Judulnya "Greatest Love of All"

Neh lagu keren banget. Asli! Gw demen banget sama neh lagu!

Oke, gak ada hubungannya soal neh lagu salah satu favorit gw ato gak sih!






Tadi tiba2 aja gw kepikir an sam a neh lagu. Abis liriknya berhubungan juga sih sama judul blog atopun tema blog yg diminta dosen gw (menurut gw sih...)

Bener banget kata2 yg ada di lagu ini.
anak2 emang masa depan kita. Mereka lah generasi penerus kita. Kalau bukan mereka, Siapa Lagi?
nah, disini nih pentingnya dunia pendidikan/dunia sekolah bagi anak2. Sehubungan dengan mereka lah yg akan menjadi generasi penerus kita nantinya, maka mereka perlu dibekali dengan ilmu yg cukup demi memajukan masa yg akan datang. Salah satunya yah melalui sekolah. Iya gak?
bait yg terakhir juga sama mantepnya neh kata2nya
"... Let's the children laughter, remind us how we used to be..."
hoooaaa, emang kalo ngelihat anak2 pada ketawa dengan polosnya, dengan tanpa paksaan, innocent banget dah pokoknya..
bener2 ngingetin kita kalo seharusnya kita bisa tertawa lepas kayak mereka.