Jumat, 11 Desember 2009

Orang tua dan permasalahannya

Dua hari yang lalu, ketika saya sedang chatting dengan adik perempuan saya yang sedang melanjutkan studinya di luar negeri, saya bercerita kepadanya tentang tugas pembuatan blog ini dan saya meminta ide darinya mengenai apa yang akan saya tulis di dalam blog ini sehubungan dengan topic yang diberikan. Lalu ia langsung memberikan idenya dengan mengatakan "coba deh ci, u buka buku 'Membuka Pintu Hati' hal. 187. Disitu ada kata2 bagus yang mungkin bisa u pake di blog u."

Saya langsung mengambil buku yang dimaksudkan oleh adik saya dan mulai membaca. Di dalam buku tersebut tertulis:

"Masalah yang berkenaan dengan orang tua adalah mereka selalu mengira bahwa mereka tahu apa yang terbaik untuk anaknya. Sering kali mereka salah. Kadang mereka benar juga."

Kata2 yang sangat bijak menurut saya. Begitulah hendaknya orang tua meskipun menginginkan yang terbaik dari anaknya tetapi mereka hendaknya tidak selalu memaksakan kehendak mereka terhadap anak2 mereka. Orang tua tidak selalu tahu apa yang terbaik untuk anaknya karena terkadang anak2 mereka pun tidak menginginkan hal yang terbaik tersebut.

Ketika saya sedang membaca2 ulang isi buku 'Membuka Pintu Hati' karya Ajahn Brahm ini saya menemukan sebuah cerita yang menggambarkan bahwa tidak selalu yang menurut orang tua terbaik adalah yang terbaik menurut anaknya.

Diceritakan di dalam buku ini bahwa ada seorang pemuda, yang terlahir tuli, tengah mengunjungi dokter untuk pemeriksaan rutin dengan ditemani oleh kedua orang tuanya. Dengan bersemangat sang dokter memberi tahu orang tua si pemuda mengenai suatu presedur pengobatan baru yang baru-baru ini dibacanya dari jurnal kedokteran. Sepuluh persen dari orang-orang yang terlahir tuli dapat dipulihkan kembali pendengarannya melalui sebuah operasi sederhana dan tidak mahal. Sang dokter bertanya kepada orang tua si pemuda apakah mereka ingin mencobanya. Orang tua si pemuda dengan segera mengiyakan.

Pemuda itu adalah salah satu dari sepuluh persen orang-orang tuli yang dapat dipulihkan kembali pendengarannya, namun dia malah menjadi sangat marah dan jengkel kepada kedua orang tua dan dokternya. Dia tidak mengetahui apa yang mereka rembugkan saat pemeriksaan rutinnya. Tak seorang pun menanyakan kepadanya apakah dia ingin bisa mendengar. Sekarang dia mengeluh karena dia harus menahan siksaan suara-suara rebut yang terus-menerus, yang mana hanya sedikit saja yang dia pahami. Sebenarnya dia memang tidak pernah ingin dipulihkan pendengarannya.

Sebelum membaca cerita ini, saya sendiri pun berpikiran bahwa setiap orang yang tuli pasti ingin dapat mendengar. Setiap orang yang buta pasti ingin dapat melihat. Anda pun mungkin berpikiran hal yang serupa. Padahal memang belum tentu mereka menginginkannya. Begitu pula dengan orang tua mereka sendiri, belum tentu apa yang mereka pikir baik untuk anaknya sudah pasti baik.

Jika dihubungkan dengan masalah pendidikan anak sekolah, ada banyak contoh yang bisa ambil untuk menggambarkan kondisi ini.

Sekarang ini, banyak sekali orang tua yang menginginkan anak mereka masuk ke sekolah bergengsi, sekolah dengan taraf internasional, ataupun sekolah kelas atas lainnya. Padahal belum tentu anak-anak mereka benar-benar menginginkan hal tersebut dan belum tentu juga anak2 mereka memang "mampu" untuk menyesuaikan diri dengan sekolah2 seperti itu. Ada dalam banyak kasus orang tua yang memaksakan anak mereka untuk bersekolah di sekolah-sekolah seperti itu malah menyebabkan anaknya, yang memang kurang mampu/kurang cakap untuk mengikuti taraf sekolah tsb, tidak dapat mengikuti mata pelajaran yg ada, selalu mendapatkan nilai yang jelek, atau bahkan tidak naik kelas.

Hal-hal inilah yang akhirnya menurunkan motivasi anak untuk bersekolah. Mereka bisa saja berpikir bahwa sekolah bukanlah tempat dimana mereka bisa mendapatkan ilmu, tempat mereka bergaul dengan teman sebaya, tempat dimana mereka bisa mempelajari tentang dunia dan isinya, tetapi malah merupakan suatu "tekanan" dalam hidup mereka dan mereka membencinya.


Referensi:

Brahm, A. (2008). Membuka pintu hati. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya.

3 komentar:

  1. wah g setuju banget tu.orang tua kan yg paling banyak menghabiskan waktu ma anak2ny.

    BalasHapus
  2. oy g jadi inget g punya cerita:g punya temen sd sebut aj siA.g dah 6tahun berteman ma dy.di sd dy anak yg baik,luwes dalam pergaulan n banyak disukai ma temen2ny ato guru2.dy juga berprestasi di sekolah.waktu smp dy pindah sekolah yg terkenal kurang bagusny.g baru ketemu lagi ma dy karena kebetulan g 1tim basket ma dy ditempat g latian.singkatny pas pulang latian basket ada tawuran dideket rumah g yg kebetulan rmh g ma dy juga 1gang.g lari berdua,g panik,tp dy santai aj.samp dirumah dy g ketemu ortuny.mamany suruh siA ini masuk.dalam hati g da tenang ni berarti temen g dah aman.pas g baru mao pamit pulang ada kejadian yg bwt g kaget.siA keluar dari kamarny bawa tas n ditangany ada pisau.g pikir"gla ni anak depan ortuny mao ngapain".g berharap ortuny langsung negor die.ternyata bener ortuny negor dengan lembut tapi ga sesuai harapan g,bunyiny gini"ati2 dijalan ya jangan sampe kalah x ini".kaget banget g anak yg bae,pinter,luwes n pernah jadi juara 2 bahasa inggris jakarta timur,ud berubah jadi anak yg urakan,sering bolos,n ngelakuin hal2 yg ngerugiin diri dy sendiri.ini contoh kisah nyata yg g alami sendiri.karena pengaruh lingkungan sekitarny dy lgsg berubah drastis.itu sebabny menurut g ortu penting banget perananny dalam perkembangan pendidikan anak2ny.orang tua bisa jadi panutan yg baik,contoh dan motivator utk anankny menuju sukses,tapi bisa juga sebaliknya membuat anaknya ke jalan yg berakibat fatal n merugikan diriny sendiri n orang lain.menurut g ortu sangat berperan memilih bukan sekolah yg termewah,atau termahal sekalipun tapi yg terpenting memilih yg tercocok,karena dengan cocok maka ada kenyamanan dan kesenangan.dengan merasa nyaman n happy dalam belajar maka prestasi adalah konsekuensi yang sangat mungkin didapat.thx=)

    BalasHapus
  3. bener banget. apa yg terbagus belom tentu yg paling nyaman. ibarat kayak sepatu aja ky. orang banyak bilang kalo "sepatu yg mewah akan membawa kita ke tempat yg mewah juga" padahal tempat yg mewah itu belom tentu nyaman bwt kita. mendingan sepatu yg "nyaman" dah. udah pasti bawa kita ke tempat yg nyaman jg. mao itu tempat mewah atopun ngak.

    pendidikan jg emang gitu. blom tentu sekolah yg mahal yg bagus udah pasti cocok buat kita...

    BalasHapus